Pagi yang indah kumulai dengan membuka sepasang mata sipitku, kupenuhi rongga dadaku dengan sekali hirup. Kutatap nanar langit kamarku yang kini mulai memudar warnanya. Ya memudar karena langit-langit itu sudah tak lagi berwarna putih bersih. Aku pun bangkit dan duduk di tepi tempat tidur kesayangan yang tak pernah bosan menina bobokan aku setiap tubuh letih ini membutuhkan sandaran. Ini adalah hari Senin, hari yang mungkin akan sangat dibenci namun bisa jadi juga sangat ditunggu sebagian orang. Hari ini aku tidak boleh terlambat, batinku mulai berbicara. Aku pun bangkit dan berdiri seraya menyapa lambaian handuk yang seolah menunggu giliran untuk disapa. Kulangkahkan kakiku dengan gontai, Sekian menit pun berlalu, telah kurasakan sejuknya air disertai gemericik hujan yang tak henti menghujam bumi. Tersadarku bahwa gemericik itu adalah pertanda satu kebahgiaan datang menghampiri yakni pertanda tak akan ada Upacara bendera seperti biasanya. Namun, itu juga sekaligus pertanda bahwa aku harus bersiap pergi menyongsong hari dengan iringan si sejuk yang menusuk tulang.
Aku Berti, aku seorang guru disalah satu sekolah menengah atas ternama di kotaku. Guru adalah profesi pilihanku yang kini harus kutekuni hingga nanti. Bicara soal menjadi guru sudah barnag tentu ada suka dukanya. Aneka jenis sifat manusia kujumpai setiap harinya. Manghadapi aneka polah siswa, bercanda, belajar hingga haru bersama tentulah cemilan harianku. Dbalik keseharian penuh kepenatan itu ada satu bagian yang sangat kusukai. Ya, satu bagian dari hari penat yakni saat jam pelaran usai. Itu pertanda sebagai pekerja berakhirlah jam kerja.
Kulirik Mirage di pergelangan tanganku, menunjuk pada pukul 15.00, aku pun bergegas menuju parkiran dan segera menunggangi kuda besi kesayanganku. Mengapa bagian ini sangat kutunggu?, Ada satu hal yang kubagi untukmu kawan. Kususuri jalan raya ditemani terik surya yang berbalut aroma menyengat aspal basah sisa hujaman sang hujan yang deras sederas rinduku. Aku semakin semangat menarik gas kudaku hingga akhirnya tibalah aku di suatu tempat yang sangat kuiingat aroma dan setiap detilnya. Sebuah taman bunga, ini memang taman bunga. Lalu apa istimewanya? tempat ini istimewa sejak aku dapat menikmati keteduhan wajahnya dari salah satu bangku kosong ditepi taman.
Ada asa yang sangat indah menyelinap ketika melihatnya. Sekilas ia hanya sesosok pria yang kuperkirakan tingginya 168 sentimeter, berperawakan tegap penuh wibawa. Meski begitu, dibalik wajahnya yang tampak berwibawa ia dengan sabarnya menuntun sorang nenek tua berjalan perlahan menyusuri taman bunga, sambil menikmati indahnya sore. Sesekali kudengar tawa renyah mereka. Belakangan kutahu bahwa nenek tua itu adalah nenek dari si pemuda tampan nan rupawan itu. Kuperbaiki posisi dudukku sembari kukeluarkan sebuah novel yang baru saja kubeli untuk menemaniku membunuh waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar