Bulungan merupakan suku asli dari Provinsi termuda di Indonesia, yaitu Kalimantan Utara. Kisah asal mula suku ini bermula dari cerita rakyat yang disebut “Bulongan”(bambu dan telur). Suku Bulungan memiliki ciri khas adat istiadatnya tersendiri, salah satu yang paling unik adalah adat pernikahan yang telah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Baik kedua mempelai bersuku Bulungan maupun salah satu dari mempelai yang bersuku Bulungan.
Proses awal dari adat pernikahan Bulungan adalah lamaran dan jujuran, dalam bahasa Bulungan disebut dengan Beseruan Mengka Ngantot Sangot. Proses awal dari perkawinan adat Bulungan diawali dengan lamaran dan antar jujuran yang disebut dengan AntotSangot dari pihak keluarga laki-laki. Dalam acara ini, pihak keluarga laki-laki melakukan pembicaraan dengan pihak keluarga perempuan untuk melakukan peminangan atau dalam bahasa Bulungannya Lungkap Beba atau Beseruan.
Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menerima pinangan maka dari pihak keluarga laki-laki akan menyerahkan sebuah meriam kecil yang dinamakan Rentaka. Di masa lampau, jika pihak laki-laki adalah anak dari seorang Sultan, maka jujuran atau Sangotnya ditambah sebesar 2000 ringgit. Untuk saat ini tentu saja telah beralih menggunakan rupiah dengan jumlah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Mengantar jujuran atau Ngantot Sangot dalam adat Bulungan memiliki tata caranya tersendiri. Setelah peminangan selesai tibalah acara mengantar jujuran dimana pihak keluarga perempuan menyiapkan potongan balok ulin yang akan dipergunakan untuk melakukan pengujian bahwa jujuran berupa uang ringgit yang diserahkan benar-benar asli. Apabila seandainya uang ringgit tersebut palsu, maka kepada pihak laki-laki diharuskan menggantinya dengan yang asli.
Tiga hari setelah dilaksanakannya antar jujuran, calon pengantin pria dibawa ke rumah calon pengantin wanita guna mengadakan silaturahmi. Acara ini dimaksudkan untuk saling berkenalan antar calon pengantin. Di masa perkenalan ini calon pengantin pria hanya boleh melihat dengan mencuri-curi pandang saja, tidak bisa bertatap muka secara langsung dengan calon pengantin wanita.
Dimasa lampau, perempuan Bulungan yang akan dipinang tidak diperbolehkan untuk keluar rumah, dalam istilah adat Bulungan disebut dengan 'kenurung' atau berdiam diri di dalam rumah. Masa perkenalan calon pengantin pria dan wanita ini berlangsung sekitar 7 hingga 9 hari atau bisa lebih. Dalam masa perkenalan ini, masing-masing calon pengantin memberi tanda mata berupa cincin sebagai tanda bukti telah melakukan pertemuan.
Setelah acara perkenalan calon pengantin, maka tahap selanjutnya adalah persiapan akad nikah, dimana calon pengantin pria dibawa ke rumah pengantin wanita guna melaksanakan akad nikah tanda resmi sebagai pengantin. Setelah akad nikah selesai, pengantin pria boleh tidur bersama, makan bersama, tapi perempuannya masih tetap berkurung dalam sarung tanpa boleh diliat oleh pengantin pria. Pada saat menjelang tidur, pengantin ditemani oleh kedua keluarganya. Setelah acara kawin suruk selama tiga hari tiga malam dilaksanakan, maka pengantin pria kembali dibawa pulang untuk persiapan hari persandingannya.
Sebelum
hari persandingan dilaksanakan, maka pada malam harinya di rumah pengantin pria
dilaksanakan acara Bepupur atau pupuran yang diisi dengan hiburan musik gambus
dan tari jepen. Sedangkan,di rumah pengantin wanita diadakan acara Bepacaran
atau memakai inai dijari tangan dan kaki yang hanya dapat disaksikan oleh pihak
pengantin wanita saja.
Dalam acara bepupur ini, dilakukan acara tukar menukar pupur dan pacar (Inai) antara pengantin pria dan pengantin wanita. Pada acara ini pihak keluarga pengantin pria mengantarkan pupur dan pacar ke rumah pengantin wanita untuk ditukar dengan pupur dan pacar dari pihak keluarga pengantin wanita. Pupur dan pacar tersebut dibawa dengan menggunakan talam yang dilapisi dengan kain kuning serta diterangi dengan lilin.
Setelah acara tukar menukar pupur dan pacar, maka acara pupuran dilaksanakan.Pengantin pria dipupuri secara bergantian oleh tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan yang dituakan. Pupur yang digunakan terbuat dari air beras dengan beberapa lembar daun pandan agar wangi. Selesai acara bepupuran, selanjutnya pengantin pria diangkat ke kamar secara beramai-ramai dengan menggunakan tikar pandan, kemudian para tamu dan undangan juga ikut bepupur satu sama lainnya.
Konon menurut cerita, bahwa para undangan dalam acara pupur-pupuran ini sengaja mencari anak gadis dan bujang dengan harapan si gadis atau bujang tersebut dapat lekas menyusul untuk melaksanakan pernikahannya. Hari berikutnya setelah acara berpupur adalah persiapan hari persandingan, dimana pada hari tersebut pengantin pria dibawa keluarganya ke tempat pengantin wanita. Disertai dengan membawa perlengkapan makanan yang dinamakan Seduleng serta perlengkapan pakaian perempuan yang disebut dengan Pesalin.
Pada acara peresmian perkawinan yakni tibanya hari persandingan, pengantin pria diantar oleh keluarga dan kerabatnya disertai pendamping yang berpakaian lengkap dengan membawa Seduleng dan Pesalin. Tiba di rumah pengantin wanita, Seduleng dan I yang dibawa oleh rombongan pengantin pria tersebut diserahkan kepada keluarga pengantin wanita yang sudah siap menerima di pintu masuk. Acara selanjutnya sebelum masuk ke pelaminan adalah sang pengantin pria diharuskan menginjak batu gosok serta menggigit pisau dan meminum air yang sudah disiapkan oleh pihak pengantin wanita. Hal ini dimaknai bahwa, pengantin pria setelah memasuki bahtera rumah tangga memiliki hati yang teguh dan tidak mudah goyah terhadap berbagai macam cobaan dan godaan.
Berikutnya sebelum duduk di kursi pelaminan masih ada satu tahap yang harus dilalui oleh pengantin pria yakni membuka tabir atau tirai kain penutup serta Dedap atau kain penutup wajah pengantin wanita. Untuk dapat membuka tabir atau tirai serta Dedap ini, maka pihak pengantin pria harus menyerahkan sejumlah uang yang diberikan pada Sina Pengantin atau Perias Pengantin, setelah itu barulah membuka tabir atau tirai serta Dedap bisa dibuka.
Tahap selanjutnya adalah acara persandingan. Setelah selesai acara persandingan, maka tiga hari berikutnya atau dalam istilah bahasa Bulungan, Genop Telu Malom, pihak pengantin pria menyerahkan salah seorang dipon atau hamba sahaya, dapat pula diartikan sebagai pembantu kepada pihak pengantin wanita dalam bahasa Bulungan disebut Buka Seluar. Bila tidak ada bisa diganti dengan uang sebesar 250 ringgit.
Kemudian setelah acara penyerahan dipon atau hamba sahaya tadi barulah kedua pengantin naik keatas pelaminan, sambil dinyanyikan lagu-lagu Sulai Mambeng, Dindeng Sayeng, dan Sayeng Tuan yang dibawakan oleh para orang tua. Tembang ini dinyanyikan hingga menjelang subuh. Tahap Selanjutnya dari prosesi perkawinan adat Bulungan ini adalah membangunkan pengantin, dalam bahasa Bulungannya adalah Metun Pengantin dengan cara membunyikan alat musik tradisional berupa gendang rebana. Setelah pengantin dibangunkan, maka tahap berikutnya adalah mandi pengantin. Dalam bahasa Bulungan mandi disebut Mendus
Pada acara mandi pengantin ini pasangan pengantin didudukandi atas persada atau tangga tujuh tingkat. Sebelum acara mandi-mandian dilaksanakan masing-masing pengantin diangkut, pengantin wanita digendong, dalam bahasa Bulungan disebut Tenanggung. Sedangkan pengantin pria diangkut dengan kursi. Sebelum duduk di tempat pemandian yang sudah disiapkan berupa baki atau talam yang dilapisi kain, pengantin wanitanya dibawa berkeliling mengitari tangga hingga pada tingkat yang paling atas. Barulah acara mandi pengantin dilaksanakan.
Air yang digunakan untuk mandi pengantin berasal dari kawasan Limbu atau Long Baju dengan menggunakan biduk bebandung, serta mereka yang mengambilnya diharuskan menggunakan pakaian pengantin. Air diambil sehari sebelum acara mandi pengantin dilaksanakan yang banyaknya dua kibut atau guci dan diletakan pada tingkat paling atas persada dilengkapi dengan bunga-bungaan.
Rangkaian akhir dari prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini adalah bertamu ke rumah mertua, dalam bahasa Bulungan dinamakan Nyengkiban. Acara ini dilaksanakan pada sore hari setelah acara mandi-mandian atau Mendus. Dalam acara nyengkiban ini kedua pengantin disertai keluarga pengantin wanita, dengan menggunakan kereta kencana diarak menuju rumah keluarga pengantin pria.
Sesampainya di rumah keluarga pengantin pria, dilaksanakan acara sembah sujud oleh kedua pengantin, setelah selesai acara sembah sujud tersebut, maka berakhirlah seluruh rangkaian acara prosesi perkawinan adat Bulungan yang sacral dan sarat nilai-nilai budaya tersebut. Selanjutnya seluruh keluarga saling bersilaturahmi. Sebagai tambahan, pada masa lampau, jika Sultan Bulungan atau keluarga dekat yang melaksanakan hajat perkawinan, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara pesta rakyat sebagai tanda syukur yang oleh masyarakat Bulungan disebut dengan Birau, acara ini dibuka dengan tembakan salvo dari Meriam Sebenua dengan tujuan seluruh isi kampong mengetahui bahwa ada pesta yang dilaksanakan oleh kerabat Sultan.
Jika
kita mengkaji prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini, tercermin
nilai-nilai yang sarat makna, seperti nilai kejujuran, kesabaran, keberanian,
kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisi yang tidak lain bersandar dari
perkawinan nilai-nilai adat dan agama yang diresapi oleh masyarakat Bulungan,
inilah yang kemudian melahirkan tradisi adat perkawinan Kesultanan Bulungan
yang sakral.
Referensi
Boeloengan, Zarkasyi Van. 19 Juni 2010. Adat Perkawinan Orang Bulungan. http://muhammadzarkasy-bulungan.blogspot.com/2010/06/adat-perkawinan-orang-bulungan.html?m=1
Narasumber:
Kakek H. Hamzah Sulaiman
Nenek Hj. Siti Zainab
Kelompok:
1. Lisa Nessa Safitri
2. Mutmainnah Fitria
3. Rahma Elvira Ariyani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar