Jumat, 06 November 2020

BIDUK BEBANDUNG (Tugas Menulis Cerita Sejarah Daerah) Terbaik dari kelas XII MIPA 4

 Gambar Biduk Bebandung Perahu Khas Kesultanan Bulungan

Setiap tahun di daerah Bulungan diadakan perayaan Birau sebagai peringatan Hari Jadi Kota Tanjung Selor dan Bulungan. Birau merupakan sebuah festival budaya yang menjadi agenda tahunan dengan menampilkan berbagai rangkaian ritual adat. Salah satu dari rangkaian acara ritual adat Birau, yaitu upacara Biduk Bebandung. Pada tahun 2018, Biduk Bebandung telah mendapatkan sertifikat “Warisan Budaya Takbenda”. Sertifikat diserahkan Dr. Hilman Farid, Dirjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie di Jakarta. Dengan sertifikat itu, maka Biduk Bebandung mendapat pengakuan sebagai budaya asli lokal yang menjadi milik nasional.

Sebelum ditetapkan, bersama 461 usulan lainnya dilakukan penilaian oleh para ahli dan kurator yang ditunjuk oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Akhirnya terpilih 225 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, termasuk Biduk Bebandung dari Kalimantan Utara. Penetapan itu bermakna Kalimantan Utara tak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam tetapi juga kaya akan tradisi budaya. 

Sejarah Biduk Bebandung

Pada era Kesultanan Bulungan dipimpin oleh Sultan Kasimuddin (1901-1925), ritual adat Biduk Bebandung semakin dikenal luas ke berbagai nusantara hingga ke luar negeri. Namun jauh sebelum itu, tradisi ini sudah lahir di tanah Bulungan. Sumber hikayat menuturkan Biduk Bebandung adalah bagian dari perjalanan seorang pangeran rupawan dan gagah perkasa dari Kesultanan Melayu Brunei yang bernama Datu Mancang. Sang pangeran Datu Mancang didampingi penasehat bijaksana yang merupakan seorang ulama berdarah arab bernama Datu Mahubut dan panglima sakti Datu Tantalangi.

Bersama 100 prajurit pemberani, Sang Pangeran dititahkan berlayar memperluas wilayah kesultanan hingga ke muara Sungai Kayan yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Bulungan, Kalimantan Utara. Saat di pesisir Bulungan itu, konon, kapal layar Sang Pangeran rusak binasa akibat amukan badai. Bersama sisa pasukan yang selamat, termasuk Datu Mahubut dan Datu Tatalangi mereka beristirahat di sebuah kawasan yang kini disebut sebagai Sungai Binai. Di sana mereka membuat perahu yang dijadikan seperti pendopo untuk menelusuri hulu Sungai Kayan karena mereka tak mungkin kembali ke Brunei karena kapal layar mereka sudah musnah. Saat menelusuri hulu Sungai Kayan, Datu Mancang bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita cantik jelita, puteri seorang Kepala Suku Dayak Apo Kayan bernama Asung Luwan.

Dari peristiwa ini, maka lahirlah tradisi Biduk Bebandung sebagai pengingat datangnya Sang Pangeran. Hikayat perkawinan Datu Mancang dan Puteri Asung Luwan diikuti oleh para pengikut pangeran dengan para gadis Dayak Kayan Apo Kayan jadi peristiwa penting lain. Dari perkawinan massal antara prajurit Melayu dengan gadis-gadis Dayak Kayan Apo Kayan melahirkan suku bangsa baru, yakni bangsa Bulungan. Peristiwa ini juga menjadi babak baru di wilayah Bulungan ditandai mulai tersebarnya ajaran Islam karena Datu Mancang dan pengikutnya adalah Muslim. Pada dokumen sejarah, terdapat koleksi foto hitam putih milik Museum Tropen Belanda tradisi biduk bebandung sudah terdokumentasi pada tahun 1930.

 

Pelaksanaan Biduk Bebandung

Pelaksanaan Biduk Bebandung sebenarnya tidak hanya dilaksanakan satu tahun sekali pada saat Birau. Pada zaman dulu, jika terdapat acara-acara besar seperti penobatan dan acara pernikahan anak sultan, ritual adat Biduk Bebandung pasti hadir untuk menyambut para tamu dari berbagai penjuru dunia.

Pada tahun 2018, ritual adat Birau yang memperingati Hari Jadi Kota Tanjung Selor ke-228 dan Kabupaten Bulungan ke-58 dimulai dari hadirnya Biduk Bebandung, sebuah perahu besar yang mirip pendopo terapung dengan lebar sekitar 500 meter. Pendopo terapung itu dibangun dari dua perahu (atau lebih) yang dirakit menjadi satu. Pada zaman Kesultanan Bulungan, ada puluhan pendayung tegap di kiri dan kanan yang menjalankan perahu Biduk Bebandung itu, namun kini pekerjaan tersebut digantikan oleh perahu motor.

Secara bahasa, Biduk Bebandung artinya perahu kembar. Tujuannya adalah sebagai pendopo terapung untuk menyambut tamu kehormatan Kesultanan Bulungan. Pendopo terapung tersebut dihias selayaknya sebuah ruang tamu mewah dengan warna dominan kuning sebagai simbol yang melambangkan kemuliaan, keagungan, dan kesuksesan.

Biduk Bebandung hadir menjemput tamu agung yang terdiri para raja, pemangku adat, pelingsir, masyarakat adat dari berbagai penjuru Nusantara, segenap keluarga Kesultanan Bulungan, Ketua Lembaga Adat Bulungan hingga para pejabat pemerintahan.

Penjemputan berlangsung di Pelabuhan Kayan I VIP, Tanjung Selor. Perahu Biduk Bebandung lalu membawa para tamu agung menyeberang ke Kecamatan Tanjung Palas yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Bulungan. Tercatat sekitar 26 pangeran dan sultan maupun raja di Nusantara serta 3 delegasi dari Malaysia yang hadir mengikuti ritual adat dalam rangkaian Birau di Kabupaten Bulungan tahun 2018. Sejumlah pejabat dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan Pemerintah Kabupaten Bulungan turut mengikuti rangkaian kegiatan.

            Selama perjalanan menyeberang dari Tanjung Selor ke Tanjung Palas di Sungai Kayan, para tamu agung yang berada diatas kapal itu mendapat jamuan minuman dan makanan ringan khas Bulungan. Selain itu, selama penyebrangan kurang lebih 20 menit dari Kota Tanjung Selor ke Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas, digelar pertunjukan Tarian Jugit Demaring. Tarian Jugit Demaring merupakan tarian Kesultanan Bulungan yang dipersembahkan dalam penyambutan tamu, biasanya tarian ini dilakukan di dermaga istana atau di atas Biduk Bebandung. Suasana sakral terasa selama menyeberangi Sungai Kayan yang merupakan salah satu sungai terlebar di Indonesia.

Sesampainya di Tanjung Palas, para tamu kehormatan disambut masyarakat Tanjung Palas beserta barisan pelajar yang menggunakan pakaian tradisional suku Bulungan, suku Tidung dan suku Dayak, tiga suku asli di Kabupaten Bulungan. Para tamu kehormatan langsung menuju lokasi pemakaman untuk ziarah ke makam Sultan Bulungan dan kerabatnya di kompleks Masjid Sultan Kasimuddin. Selanjutnya, mereka dijamu di rumah raya almarhum Datu Mansyur, yang dulu merupakan Perdana Menteri Kesultanan Bulungan.

Ketua Lembaga Adat Bulungan, Datu Buyung Perkasa menjelaskan, adanya sejumlah ritual dalam Birau Bulungan bertujuan melestarikan adat istiadat serta mempromosikan kekayaan seni dan budaya dari Kabupaten Bulungan. Melalui kegiatan-kegiatan selama Birau diharapkan dapat semakin merekatkan hubungan masyarakat Bulungan.

 

Makna Biduk Bebandung

Rasa kekeluargaan yang kental pada Biduk Bebandung sudah terlihat sejak dulu. Ketika membuat perahu Biduk Bebandung, masyarakat bekerja sama untuk mengikat kapal sekuat-kuatnya sehingga tidak lepas dan ketika belum ada mesin kapal, masyarakat Bulungan menggerakkan Biduk Bebandung dengan cara didayung. Hal itu membuat rasa kebersamaan antar masyarakat semakin erat dan disitulah memperlihatkan rasa persatuan dan kesatuan. Rasa kebersamaan juga terlihat pada saat menyambut tamu dan berdayung bersama sehingga sampai di tempat tujuan.

Biduk Bebandung merupakan gabungan dari beberapa kapal yang dijadikan satu. Biduk Bebandung memiliki makna bahwa tiga suku asli yang terdapat di Kabupaten Bulungan, yakni suku Bulungan, suku Dayak, dan suku Tidung dapat menjadi satu menjalin kehidupan yang rukun. Menjadi satu berarti menjadi kuat. Hal tersebut sesuai dengan cerminan nilai pancasila yang terdapat pada sila ketiga, yaitu persatuan indonesia.

Tradisi Biduk Bebandung harus dilestarikan, jangan sampai hilang bahkan tak dikenal oleh masyarakat terkhususnya pemuda Bulungan. Nilai-nilai orisinal dari Biduk Bebandung pun harus tetap dipertahankan. Nilai budaya Biduk Bebandung seperti rasa kebersamaan yang kental, rasa persaudaraan yang erat, dan jalinan silahturahmi yang tak putus perlu ditanamkan pada generasi muda.

Sebuah mitos atau hikayat memang tidak sepenuhnya benar, tetapi selalu ada benang merah dengan kondisi sekarang setipis apapun benang itu. Namun, dari sisi pelestarian budaya, semangat para leluhur bangsa Bulungan diharapkan tidak akan hilang seperti gelora asa Datu Lancang dan Puteri Asung Luwan dalam membangun Bulungan. Semangat melestarikan tradisi Biduk Bebandung serta budaya Bulungan diharapkan tidak akan berhenti, seperti gelora arus Sungai Kayan yang terus mengalir.

Referensi:

1.    Wawancara dengan Datu Buyung Perkasa selaku Ketua Lembaga Adat Bulungan.

2.    Channel YouTube Citra Benuanta

Karya Anindi Rizmita Syahrain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar