Setiap tahun di daerah Bulungan diadakan perayaan
Birau sebagai peringatan Hari Jadi Kota Tanjung Selor dan Bulungan. Birau merupakan
sebuah festival budaya yang menjadi agenda tahunan dengan menampilkan berbagai
rangkaian ritual adat. Salah satu dari rangkaian acara ritual adat Birau, yaitu
upacara Biduk Bebandung. Pada tahun 2018, Biduk Bebandung telah mendapatkan
sertifikat “Warisan Budaya Takbenda”. Sertifikat diserahkan Dr. Hilman Farid,
Dirjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Gubernur Kalimantan
Utara Irianto Lambrie di Jakarta. Dengan sertifikat itu, maka Biduk Bebandung mendapat pengakuan
sebagai budaya asli lokal yang menjadi milik nasional.
Sebelum ditetapkan, bersama 461 usulan lainnya dilakukan penilaian oleh para ahli dan kurator yang ditunjuk oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Akhirnya terpilih 225 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, termasuk Biduk Bebandung dari Kalimantan Utara. Penetapan itu bermakna Kalimantan Utara tak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam tetapi juga kaya akan tradisi budaya.
Sejarah Biduk Bebandung
Pada era Kesultanan Bulungan dipimpin oleh
Sultan Kasimuddin (1901-1925), ritual adat Biduk Bebandung semakin dikenal luas
ke berbagai nusantara hingga ke luar negeri. Namun
jauh sebelum itu, tradisi ini sudah lahir di tanah Bulungan. Sumber hikayat menuturkan
Biduk Bebandung adalah bagian dari perjalanan seorang pangeran rupawan dan
gagah perkasa dari Kesultanan Melayu Brunei yang bernama Datu Mancang. Sang pangeran Datu Mancang didampingi penasehat
bijaksana yang merupakan seorang ulama berdarah arab bernama Datu Mahubut dan
panglima sakti Datu Tantalangi.
Bersama 100 prajurit
pemberani, Sang Pangeran dititahkan berlayar memperluas wilayah kesultanan
hingga ke muara Sungai Kayan yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Bulungan, Kalimantan
Utara. Saat di pesisir Bulungan itu, konon, kapal layar Sang Pangeran rusak
binasa akibat amukan badai. Bersama sisa
pasukan yang selamat, termasuk Datu Mahubut dan Datu Tatalangi mereka
beristirahat di sebuah kawasan yang kini disebut sebagai Sungai Binai. Di sana mereka membuat perahu yang dijadikan seperti
pendopo untuk menelusuri hulu Sungai Kayan karena mereka tak mungkin kembali ke
Brunei karena kapal layar mereka sudah musnah. Saat menelusuri hulu Sungai Kayan, Datu Mancang bertemu dan jatuh cinta
dengan seorang wanita cantik jelita, puteri seorang Kepala Suku Dayak Apo Kayan
bernama Asung Luwan.
Dari peristiwa ini,
maka lahirlah tradisi Biduk Bebandung sebagai pengingat datangnya Sang
Pangeran. Hikayat perkawinan Datu Mancang dan Puteri Asung Luwan diikuti oleh para
pengikut pangeran dengan para gadis Dayak Kayan Apo Kayan jadi peristiwa
penting lain. Dari perkawinan massal
antara prajurit Melayu dengan gadis-gadis Dayak Kayan Apo Kayan melahirkan suku
bangsa baru, yakni bangsa Bulungan. Peristiwa
ini juga menjadi babak baru di wilayah Bulungan ditandai mulai tersebarnya
ajaran Islam karena Datu Mancang dan pengikutnya adalah Muslim. Pada dokumen sejarah, terdapat koleksi foto hitam
putih milik Museum Tropen Belanda tradisi biduk bebandung sudah terdokumentasi
pada tahun 1930.
Pelaksanaan
Biduk Bebandung
Pelaksanaan Biduk Bebandung sebenarnya tidak hanya
dilaksanakan satu tahun sekali pada saat Birau. Pada zaman dulu, jika terdapat
acara-acara besar seperti penobatan dan acara pernikahan anak sultan, ritual
adat Biduk Bebandung pasti hadir untuk menyambut para tamu dari berbagai
penjuru dunia.
Pada tahun 2018, ritual adat Birau yang memperingati
Hari Jadi Kota Tanjung Selor ke-228 dan Kabupaten Bulungan ke-58 dimulai dari
hadirnya Biduk Bebandung, sebuah perahu besar yang mirip pendopo terapung
dengan lebar sekitar 500 meter. Pendopo terapung itu dibangun dari dua perahu
(atau lebih) yang dirakit menjadi satu. Pada zaman Kesultanan Bulungan, ada
puluhan pendayung tegap di kiri dan kanan yang menjalankan perahu Biduk
Bebandung itu, namun kini pekerjaan tersebut digantikan oleh perahu motor.
Secara bahasa, Biduk Bebandung artinya perahu
kembar. Tujuannya adalah sebagai pendopo terapung untuk menyambut tamu
kehormatan Kesultanan Bulungan. Pendopo terapung tersebut dihias selayaknya
sebuah ruang tamu mewah dengan warna dominan kuning sebagai simbol yang
melambangkan kemuliaan, keagungan, dan kesuksesan.
Biduk Bebandung hadir menjemput tamu agung yang
terdiri para raja, pemangku adat, pelingsir, masyarakat adat dari berbagai
penjuru Nusantara, segenap keluarga Kesultanan Bulungan, Ketua Lembaga Adat
Bulungan hingga para pejabat pemerintahan.
Penjemputan berlangsung di Pelabuhan Kayan I VIP,
Tanjung Selor. Perahu Biduk Bebandung lalu membawa para tamu agung menyeberang
ke Kecamatan Tanjung Palas yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan
Kesultanan Bulungan. Tercatat sekitar 26 pangeran dan sultan maupun raja di
Nusantara serta 3 delegasi dari Malaysia yang hadir mengikuti ritual adat dalam
rangkaian Birau di Kabupaten Bulungan tahun 2018. Sejumlah pejabat dari
Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan Pemerintah Kabupaten Bulungan turut
mengikuti rangkaian kegiatan.
Selama perjalanan menyeberang dari Tanjung Selor ke Tanjung Palas di Sungai Kayan, para tamu agung yang berada diatas kapal itu mendapat jamuan minuman dan makanan ringan khas Bulungan. Selain itu, selama penyebrangan kurang lebih 20 menit dari Kota Tanjung Selor ke Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas, digelar pertunjukan Tarian Jugit Demaring. Tarian Jugit Demaring merupakan tarian Kesultanan Bulungan yang dipersembahkan dalam penyambutan tamu, biasanya tarian ini dilakukan di dermaga istana atau di atas Biduk Bebandung. Suasana sakral terasa selama menyeberangi Sungai Kayan yang merupakan salah satu sungai terlebar di Indonesia.
Sesampainya di Tanjung Palas, para tamu kehormatan disambut masyarakat Tanjung Palas beserta barisan pelajar yang menggunakan pakaian tradisional suku Bulungan, suku Tidung dan suku Dayak, tiga suku asli di Kabupaten Bulungan. Para tamu kehormatan langsung menuju lokasi pemakaman untuk ziarah ke makam Sultan Bulungan dan kerabatnya di kompleks Masjid Sultan Kasimuddin. Selanjutnya, mereka dijamu di rumah raya almarhum Datu Mansyur, yang dulu merupakan Perdana Menteri Kesultanan Bulungan.
Ketua Lembaga Adat Bulungan, Datu Buyung Perkasa
menjelaskan, adanya sejumlah ritual dalam Birau Bulungan bertujuan melestarikan
adat istiadat serta mempromosikan kekayaan seni dan budaya dari Kabupaten
Bulungan. Melalui kegiatan-kegiatan selama Birau diharapkan dapat semakin
merekatkan hubungan masyarakat Bulungan.
Makna
Biduk Bebandung
Rasa kekeluargaan yang kental pada Biduk Bebandung
sudah terlihat sejak dulu. Ketika membuat perahu Biduk Bebandung, masyarakat
bekerja sama untuk mengikat kapal sekuat-kuatnya sehingga tidak lepas dan ketika
belum ada mesin kapal, masyarakat Bulungan menggerakkan Biduk Bebandung dengan
cara didayung. Hal itu membuat rasa kebersamaan antar masyarakat semakin erat
dan disitulah memperlihatkan rasa persatuan dan kesatuan. Rasa kebersamaan juga
terlihat pada saat menyambut tamu dan berdayung bersama sehingga sampai di tempat
tujuan.
Biduk Bebandung merupakan gabungan dari beberapa kapal yang dijadikan satu. Biduk Bebandung memiliki makna bahwa tiga suku asli yang terdapat di Kabupaten Bulungan, yakni suku Bulungan, suku Dayak, dan suku Tidung dapat menjadi satu menjalin kehidupan yang rukun. Menjadi satu berarti menjadi kuat. Hal tersebut sesuai dengan cerminan nilai pancasila yang terdapat pada sila ketiga, yaitu persatuan indonesia.
Tradisi Biduk Bebandung harus dilestarikan, jangan sampai
hilang bahkan tak dikenal oleh masyarakat terkhususnya pemuda Bulungan.
Nilai-nilai orisinal dari Biduk Bebandung pun harus tetap dipertahankan. Nilai
budaya Biduk Bebandung seperti rasa kebersamaan yang kental, rasa persaudaraan
yang erat, dan jalinan silahturahmi yang tak putus perlu ditanamkan pada
generasi muda.
Sebuah mitos atau
hikayat memang tidak sepenuhnya benar, tetapi selalu ada benang merah dengan
kondisi sekarang setipis apapun benang itu. Namun, dari sisi pelestarian
budaya, semangat para leluhur bangsa Bulungan diharapkan tidak akan hilang
seperti gelora asa Datu Lancang dan Puteri Asung Luwan dalam membangun
Bulungan. Semangat melestarikan tradisi
Biduk Bebandung serta budaya Bulungan diharapkan tidak akan berhenti, seperti gelora
arus Sungai Kayan yang terus mengalir.
Referensi:
1. Wawancara dengan Datu Buyung Perkasa selaku Ketua Lembaga Adat Bulungan.
2. Channel
YouTube Citra Benuanta
Karya Anindi Rizmita Syahrain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar