Kamis, 26 November 2020

Kandidat DRB Kalimantan Utara 2020


Seleksi Duta Rumah Belajar (DRB) Tahun 2020 kembali digelar. Meski harus dilaksanakan secara daring, tapi tidak mengurangi semangat para calon DRB memberikan penampilan terbaik dihadapan juri. Tahun ini, Kalimantan Utara memiliki lima kandidat DRB yakni, Bapak Ardiyansyah, M. Pd., Bapak Dedy Salman S. Pd., Ibu Surnariyah, S. Pd., Ibu Anita Nurhasanah, S. Pd. dan saya sendiri Nurhayati, S. Pd.. Semangat kami untuk membawa perubahan dalam dunia pendidikan Kalimantan Utara sangatlah besar, kami yang terpilih tahun ini adalah wakil dari rekan kami sesama Sahabat Rumah Belajar yang juga memiliki visi dan misi yang sama dalam memajukan pendidikan di wilayah kami. 

Bersama, kami akan berkolaborasi dalam melaksanakan aneka kegiatan yang telah menjadi rencana aksi di tahun mendatang. Berbagi adalah tujuan kami, menyebarkan informasi dan praktik baik demi kemajuan bersama untuk seluruh rekan guru Kalimantan Utara. Dukungan dari berbagai pihak tentunya sangat kami harapkan agar apa yang telah kami rencanakan dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. Kami berharap semangat merdeka belajar yang selama ini digaungkan Menteri Pendidikan kita dapat terus menyulut semangat kita sebagai insan pendidik untuk bergerak dan semakin jeli dalam membangun strategi belajar yang tepat, utamanya di masa pandemi saat ini. 

Salah satu trategi yang dapat diterapkan adalah dengan memanfaatkan portal Rumah Belajar www.belajar.kemdikbud.go.id yang di dalamnya telah terdapat fitur-fitur yang dapat mendukung kegiatan belajar mengajar apalagi selama pandemi seperti saat ini. Rumah belajar menyajikan empat fiturr utama yakni:

  1. Sumber Belajar
  2. Kelas Maya
  3. Bank Soal
  4. Laboratorium Maya

Selain keempat fitur tersebut, tentu banyak fitur pendukung lain yang dapat dimanfaatkan serta dapat diintegrasikan dalam pembelajaran. Semuanya gratis dan dapat dimanfaatkan mulai dari siswa PAUD hingga SMA/SMK. Oleh karena itu, tunggu apalagi? ayo akses sekarang juga, karena belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Merdeka belajarnya, Rumah Belajar Portalnya. 

Selasa, 17 November 2020

Mengenal Teks Editorial


Pada pertemuan yang lalu, kalian telah menyimak sebuah video  yang berisi penjelasan mengenai pengertian teks editorial, fungsi, struktur teks, unsur kebahasaan yang terdapat di dalamnya, membedakan antara fakta dan opini serta mengetahui jenis-jenis opini yang terdapat dalam teks editorial Klik Disini Untuk Melihat Video

Tapi, Tahukah kalian jika di dalam teks editorial juga memiliki keistimewaan?. Berikut ini adalah keistimewaan yang dimiliki teks editorial:

  1. Bahasa dalam teks editorial tertata dengan baik, hal tersebut ditandai dengan penggunaan ejaan, kosa kata, kata bentukan dan struktur kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia (tata bahasa baku).
  2. Materi yang dibahas dalam teks editorial diutamakan adalah permasalahan yang hangat diperbincangkan.
  3. Terdapat pemikiran subjektif (opini) yang menarik dari penulis. 
Untuk lebih jelasnya, coba perhatikan teks editorial berikut ini.

Pendidikan Hanya Menghasilkan Orang Pintar Bukan Orang Terdidik

Zaman sekarang banyak terjadi tindakan yang memalukan di negara ini seperti suap, korupsi, dan lainnya. Tetapi anehnya pelaku tindakan kejahatan tersebut adalah orang pintar yang mempunyai gelar sarjana dari lulusan universitas yang terkenal. Melihat fenomena tersebut, sepertinya ada yang tidak benar dengan pola pendidikan formal di Negara ini yang semestinya sudah harus dikaji ulang. Pola pendidikan formal saat ini hanya mengajarkan mengenai ilmu dunia sehingga menghasilkan orang pintar tetapi sayangnya tidak terdidik dan tidak mempunyai budi pekerti yang baik.Akibatnya orang pintar tersebut malah menjadi orang yang jahat, maling, menindas kaum yang lemah. Padahal seharusnya mereka menjadi penolong dan pemimpin yang baik untuk menciptakan manfaat bagi banyak orang. 

Banyak orang terhormat di Negeri ini yang tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi atau penyuapan. Bahkan mereka berpendidikan tinggi dan mengaku beragama, tetapi tindakannya sangat memalukan dan merugikan. Bahkan tindakan tersebut ada yang dilakukan bersama teman-temannya yang katanya juga “terhormat”. Lebih miris lagi ketika mereka tertangkap oleh pihak berwajib mereka bersikap tenang dan melemparkan senyum lebar pada masyarakat yang seolah-seolah mereka tidak merasa bersalah dan senang dengan apa yang diperbuatnya. Apa mereka tidak mengetahui dan tidak pernah diajari bahwa memakan uang yang bukan haknya merupakan perbuatan dosa dan hukumnya haram untuk mereka. Memang mereka itu sudah kehilangan akal sehat dan putus sudah urat malunya. Untuk itu sistem pendidikan formal yang ada saat ini harus segera diperbaiki dengan tidak hanya mementingkan hasil, tetapi juga proses agar tercipta orang pintar yang mempunyai akhlak yang baik. (Sumber: Modul Bahasa Indonesia Untuk SMA/MA Kelas XII Semester 1; Nisone Ayu Constantya; Halaman 54)

Setelah membaca teks editorial di atas, cobalah untuk  mengidentifikasi informasi yang terdapat didalamnya dan apa keistimewaan teks editorial yang terdapat pada teks tersebut?. Tuliskan pendapatmu di kolom komentar!


Jumat, 06 November 2020

BIDUK BEBANDUNG (Tugas Menulis Cerita Sejarah Daerah) Terbaik dari kelas XII MIPA 4

 Gambar Biduk Bebandung Perahu Khas Kesultanan Bulungan

Setiap tahun di daerah Bulungan diadakan perayaan Birau sebagai peringatan Hari Jadi Kota Tanjung Selor dan Bulungan. Birau merupakan sebuah festival budaya yang menjadi agenda tahunan dengan menampilkan berbagai rangkaian ritual adat. Salah satu dari rangkaian acara ritual adat Birau, yaitu upacara Biduk Bebandung. Pada tahun 2018, Biduk Bebandung telah mendapatkan sertifikat “Warisan Budaya Takbenda”. Sertifikat diserahkan Dr. Hilman Farid, Dirjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kepada Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie di Jakarta. Dengan sertifikat itu, maka Biduk Bebandung mendapat pengakuan sebagai budaya asli lokal yang menjadi milik nasional.

Sebelum ditetapkan, bersama 461 usulan lainnya dilakukan penilaian oleh para ahli dan kurator yang ditunjuk oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Akhirnya terpilih 225 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, termasuk Biduk Bebandung dari Kalimantan Utara. Penetapan itu bermakna Kalimantan Utara tak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam tetapi juga kaya akan tradisi budaya. 

Sejarah Biduk Bebandung

Pada era Kesultanan Bulungan dipimpin oleh Sultan Kasimuddin (1901-1925), ritual adat Biduk Bebandung semakin dikenal luas ke berbagai nusantara hingga ke luar negeri. Namun jauh sebelum itu, tradisi ini sudah lahir di tanah Bulungan. Sumber hikayat menuturkan Biduk Bebandung adalah bagian dari perjalanan seorang pangeran rupawan dan gagah perkasa dari Kesultanan Melayu Brunei yang bernama Datu Mancang. Sang pangeran Datu Mancang didampingi penasehat bijaksana yang merupakan seorang ulama berdarah arab bernama Datu Mahubut dan panglima sakti Datu Tantalangi.

Bersama 100 prajurit pemberani, Sang Pangeran dititahkan berlayar memperluas wilayah kesultanan hingga ke muara Sungai Kayan yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Bulungan, Kalimantan Utara. Saat di pesisir Bulungan itu, konon, kapal layar Sang Pangeran rusak binasa akibat amukan badai. Bersama sisa pasukan yang selamat, termasuk Datu Mahubut dan Datu Tatalangi mereka beristirahat di sebuah kawasan yang kini disebut sebagai Sungai Binai. Di sana mereka membuat perahu yang dijadikan seperti pendopo untuk menelusuri hulu Sungai Kayan karena mereka tak mungkin kembali ke Brunei karena kapal layar mereka sudah musnah. Saat menelusuri hulu Sungai Kayan, Datu Mancang bertemu dan jatuh cinta dengan seorang wanita cantik jelita, puteri seorang Kepala Suku Dayak Apo Kayan bernama Asung Luwan.

Dari peristiwa ini, maka lahirlah tradisi Biduk Bebandung sebagai pengingat datangnya Sang Pangeran. Hikayat perkawinan Datu Mancang dan Puteri Asung Luwan diikuti oleh para pengikut pangeran dengan para gadis Dayak Kayan Apo Kayan jadi peristiwa penting lain. Dari perkawinan massal antara prajurit Melayu dengan gadis-gadis Dayak Kayan Apo Kayan melahirkan suku bangsa baru, yakni bangsa Bulungan. Peristiwa ini juga menjadi babak baru di wilayah Bulungan ditandai mulai tersebarnya ajaran Islam karena Datu Mancang dan pengikutnya adalah Muslim. Pada dokumen sejarah, terdapat koleksi foto hitam putih milik Museum Tropen Belanda tradisi biduk bebandung sudah terdokumentasi pada tahun 1930.

 

Pelaksanaan Biduk Bebandung

Pelaksanaan Biduk Bebandung sebenarnya tidak hanya dilaksanakan satu tahun sekali pada saat Birau. Pada zaman dulu, jika terdapat acara-acara besar seperti penobatan dan acara pernikahan anak sultan, ritual adat Biduk Bebandung pasti hadir untuk menyambut para tamu dari berbagai penjuru dunia.

Pada tahun 2018, ritual adat Birau yang memperingati Hari Jadi Kota Tanjung Selor ke-228 dan Kabupaten Bulungan ke-58 dimulai dari hadirnya Biduk Bebandung, sebuah perahu besar yang mirip pendopo terapung dengan lebar sekitar 500 meter. Pendopo terapung itu dibangun dari dua perahu (atau lebih) yang dirakit menjadi satu. Pada zaman Kesultanan Bulungan, ada puluhan pendayung tegap di kiri dan kanan yang menjalankan perahu Biduk Bebandung itu, namun kini pekerjaan tersebut digantikan oleh perahu motor.

Secara bahasa, Biduk Bebandung artinya perahu kembar. Tujuannya adalah sebagai pendopo terapung untuk menyambut tamu kehormatan Kesultanan Bulungan. Pendopo terapung tersebut dihias selayaknya sebuah ruang tamu mewah dengan warna dominan kuning sebagai simbol yang melambangkan kemuliaan, keagungan, dan kesuksesan.

Biduk Bebandung hadir menjemput tamu agung yang terdiri para raja, pemangku adat, pelingsir, masyarakat adat dari berbagai penjuru Nusantara, segenap keluarga Kesultanan Bulungan, Ketua Lembaga Adat Bulungan hingga para pejabat pemerintahan.

Penjemputan berlangsung di Pelabuhan Kayan I VIP, Tanjung Selor. Perahu Biduk Bebandung lalu membawa para tamu agung menyeberang ke Kecamatan Tanjung Palas yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Bulungan. Tercatat sekitar 26 pangeran dan sultan maupun raja di Nusantara serta 3 delegasi dari Malaysia yang hadir mengikuti ritual adat dalam rangkaian Birau di Kabupaten Bulungan tahun 2018. Sejumlah pejabat dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara dan Pemerintah Kabupaten Bulungan turut mengikuti rangkaian kegiatan.

            Selama perjalanan menyeberang dari Tanjung Selor ke Tanjung Palas di Sungai Kayan, para tamu agung yang berada diatas kapal itu mendapat jamuan minuman dan makanan ringan khas Bulungan. Selain itu, selama penyebrangan kurang lebih 20 menit dari Kota Tanjung Selor ke Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas, digelar pertunjukan Tarian Jugit Demaring. Tarian Jugit Demaring merupakan tarian Kesultanan Bulungan yang dipersembahkan dalam penyambutan tamu, biasanya tarian ini dilakukan di dermaga istana atau di atas Biduk Bebandung. Suasana sakral terasa selama menyeberangi Sungai Kayan yang merupakan salah satu sungai terlebar di Indonesia.

Sesampainya di Tanjung Palas, para tamu kehormatan disambut masyarakat Tanjung Palas beserta barisan pelajar yang menggunakan pakaian tradisional suku Bulungan, suku Tidung dan suku Dayak, tiga suku asli di Kabupaten Bulungan. Para tamu kehormatan langsung menuju lokasi pemakaman untuk ziarah ke makam Sultan Bulungan dan kerabatnya di kompleks Masjid Sultan Kasimuddin. Selanjutnya, mereka dijamu di rumah raya almarhum Datu Mansyur, yang dulu merupakan Perdana Menteri Kesultanan Bulungan.

Ketua Lembaga Adat Bulungan, Datu Buyung Perkasa menjelaskan, adanya sejumlah ritual dalam Birau Bulungan bertujuan melestarikan adat istiadat serta mempromosikan kekayaan seni dan budaya dari Kabupaten Bulungan. Melalui kegiatan-kegiatan selama Birau diharapkan dapat semakin merekatkan hubungan masyarakat Bulungan.

 

Makna Biduk Bebandung

Rasa kekeluargaan yang kental pada Biduk Bebandung sudah terlihat sejak dulu. Ketika membuat perahu Biduk Bebandung, masyarakat bekerja sama untuk mengikat kapal sekuat-kuatnya sehingga tidak lepas dan ketika belum ada mesin kapal, masyarakat Bulungan menggerakkan Biduk Bebandung dengan cara didayung. Hal itu membuat rasa kebersamaan antar masyarakat semakin erat dan disitulah memperlihatkan rasa persatuan dan kesatuan. Rasa kebersamaan juga terlihat pada saat menyambut tamu dan berdayung bersama sehingga sampai di tempat tujuan.

Biduk Bebandung merupakan gabungan dari beberapa kapal yang dijadikan satu. Biduk Bebandung memiliki makna bahwa tiga suku asli yang terdapat di Kabupaten Bulungan, yakni suku Bulungan, suku Dayak, dan suku Tidung dapat menjadi satu menjalin kehidupan yang rukun. Menjadi satu berarti menjadi kuat. Hal tersebut sesuai dengan cerminan nilai pancasila yang terdapat pada sila ketiga, yaitu persatuan indonesia.

Tradisi Biduk Bebandung harus dilestarikan, jangan sampai hilang bahkan tak dikenal oleh masyarakat terkhususnya pemuda Bulungan. Nilai-nilai orisinal dari Biduk Bebandung pun harus tetap dipertahankan. Nilai budaya Biduk Bebandung seperti rasa kebersamaan yang kental, rasa persaudaraan yang erat, dan jalinan silahturahmi yang tak putus perlu ditanamkan pada generasi muda.

Sebuah mitos atau hikayat memang tidak sepenuhnya benar, tetapi selalu ada benang merah dengan kondisi sekarang setipis apapun benang itu. Namun, dari sisi pelestarian budaya, semangat para leluhur bangsa Bulungan diharapkan tidak akan hilang seperti gelora asa Datu Lancang dan Puteri Asung Luwan dalam membangun Bulungan. Semangat melestarikan tradisi Biduk Bebandung serta budaya Bulungan diharapkan tidak akan berhenti, seperti gelora arus Sungai Kayan yang terus mengalir.

Referensi:

1.    Wawancara dengan Datu Buyung Perkasa selaku Ketua Lembaga Adat Bulungan.

2.    Channel YouTube Citra Benuanta

Karya Anindi Rizmita Syahrain

ADAT PERNIKAHAN SUKU BULUNGAN (Tugas Menulis Cerita Sejarah Daerah) Terbaik dari Kelas XII MIPA 3

Gambar: Tradisi Bejepin

Bulungan merupakan suku asli dari Provinsi termuda di Indonesia, yaitu Kalimantan Utara. Kisah asal mula suku ini bermula dari cerita rakyat yang disebut “Bulongan”(bambu dan telur). Suku Bulungan memiliki ciri khas adat istiadatnya tersendiri, salah satu yang paling unik adalah adat pernikahan yang telah dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Baik kedua mempelai bersuku Bulungan maupun salah satu dari mempelai yang bersuku Bulungan.

Proses awal dari adat pernikahan Bulungan adalah lamaran dan jujuran, dalam bahasa Bulungan disebut dengan Beseruan Mengka Ngantot Sangot. Proses awal dari perkawinan adat Bulungan diawali dengan lamaran dan antar jujuran yang disebut dengan AntotSangot dari pihak keluarga laki-laki. Dalam acara ini, pihak keluarga laki-laki melakukan pembicaraan dengan pihak keluarga perempuan untuk melakukan peminangan atau dalam bahasa Bulungannya Lungkap Beba atau Beseruan.

Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menerima pinangan maka dari pihak keluarga laki-laki akan menyerahkan sebuah meriam kecil yang dinamakan Rentaka. Di masa lampau, jika pihak laki-laki adalah anak dari seorang Sultan, maka jujuran atau Sangotnya ditambah sebesar 2000 ringgit. Untuk saat ini tentu saja telah beralih menggunakan rupiah dengan jumlah yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. 

Mengantar jujuran atau Ngantot Sangot dalam adat Bulungan memiliki tata caranya tersendiri. Setelah peminangan selesai tibalah acara mengantar jujuran dimana pihak keluarga perempuan menyiapkan potongan balok ulin yang akan dipergunakan untuk melakukan pengujian bahwa jujuran berupa uang ringgit yang diserahkan benar-benar asli. Apabila seandainya uang ringgit tersebut palsu, maka kepada pihak laki-laki diharuskan menggantinya dengan yang asli.

Tiga hari setelah dilaksanakannya antar jujuran, calon pengantin pria dibawa ke rumah calon pengantin wanita guna mengadakan silaturahmi. Acara ini dimaksudkan untuk saling berkenalan antar calon pengantin. Di masa perkenalan ini calon pengantin pria hanya boleh melihat dengan mencuri-curi pandang saja, tidak bisa bertatap muka secara langsung dengan calon pengantin wanita.

Dimasa lampau, perempuan Bulungan yang akan dipinang tidak diperbolehkan untuk keluar rumah, dalam istilah adat Bulungan disebut dengan 'kenurung' atau berdiam diri di dalam rumah. Masa perkenalan calon pengantin pria dan wanita ini berlangsung sekitar 7 hingga 9 hari atau bisa lebih. Dalam masa perkenalan ini, masing-masing calon pengantin memberi tanda mata berupa cincin sebagai tanda bukti telah melakukan pertemuan.

Setelah acara perkenalan calon pengantin, maka tahap selanjutnya adalah persiapan akad nikah, dimana calon pengantin pria dibawa ke rumah pengantin wanita guna melaksanakan akad nikah tanda resmi sebagai pengantin. Setelah akad nikah selesai, pengantin pria boleh tidur bersama, makan bersama, tapi perempuannya masih tetap berkurung dalam sarung tanpa boleh diliat oleh pengantin pria. Pada saat menjelang tidur, pengantin ditemani oleh kedua keluarganya. Setelah acara kawin suruk selama tiga hari tiga malam dilaksanakan, maka pengantin pria kembali dibawa pulang untuk persiapan hari persandingannya.

Sebelum hari persandingan dilaksanakan, maka pada malam harinya di rumah pengantin pria dilaksanakan acara Bepupur atau pupuran yang diisi dengan hiburan musik gambus dan tari jepen. Sedangkan,di rumah pengantin wanita diadakan acara Bepacaran atau memakai inai dijari tangan dan kaki yang hanya dapat disaksikan oleh pihak pengantin wanita saja.


Gambar: Tradisi Bepupur Pengantin

Dalam acara bepupur ini, dilakukan acara tukar menukar pupur dan pacar (Inai) antara pengantin pria dan pengantin wanita. Pada acara ini pihak keluarga pengantin pria mengantarkan pupur dan pacar ke rumah pengantin wanita untuk ditukar dengan pupur dan pacar dari pihak keluarga pengantin wanita. Pupur dan pacar tersebut dibawa dengan menggunakan talam yang dilapisi dengan kain kuning serta diterangi dengan lilin.

Setelah acara tukar menukar pupur dan pacar, maka acara pupuran dilaksanakan.Pengantin pria dipupuri secara bergantian oleh tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan yang dituakan. Pupur yang digunakan terbuat dari air beras dengan beberapa lembar daun pandan agar wangi. Selesai acara bepupuran, selanjutnya pengantin pria diangkat ke kamar secara beramai-ramai dengan menggunakan tikar pandan, kemudian para tamu dan undangan juga ikut bepupur satu sama lainnya.

Konon menurut cerita, bahwa para undangan dalam acara pupur-pupuran ini sengaja mencari anak gadis dan bujang dengan harapan si gadis atau bujang tersebut dapat lekas menyusul untuk melaksanakan pernikahannya. Hari berikutnya setelah acara berpupur adalah persiapan hari persandingan, dimana pada hari tersebut pengantin pria dibawa keluarganya ke tempat pengantin wanita. Disertai dengan membawa perlengkapan makanan yang dinamakan Seduleng serta perlengkapan pakaian perempuan yang disebut dengan Pesalin.

Pada acara peresmian perkawinan yakni tibanya hari persandingan, pengantin pria diantar oleh keluarga dan kerabatnya disertai pendamping yang berpakaian lengkap dengan membawa Seduleng dan Pesalin. Tiba di rumah pengantin wanita, Seduleng dan I yang dibawa oleh rombongan pengantin pria tersebut diserahkan kepada keluarga pengantin wanita yang sudah siap menerima di pintu masuk. Acara selanjutnya sebelum masuk ke pelaminan adalah sang pengantin pria diharuskan menginjak batu gosok serta menggigit pisau dan meminum air yang sudah disiapkan oleh pihak pengantin wanita. Hal ini dimaknai bahwa, pengantin pria setelah memasuki bahtera rumah tangga memiliki hati yang teguh dan tidak mudah goyah terhadap berbagai macam cobaan dan godaan.

Berikutnya sebelum duduk di kursi pelaminan masih ada satu tahap yang harus dilalui oleh pengantin pria yakni membuka tabir atau tirai kain penutup serta Dedap atau kain penutup wajah pengantin wanita. Untuk dapat membuka tabir atau tirai serta Dedap ini, maka pihak pengantin pria harus menyerahkan sejumlah uang yang diberikan pada Sina Pengantin atau Perias Pengantin, setelah itu barulah membuka tabir atau tirai serta Dedap bisa dibuka.

Tahap selanjutnya adalah acara persandingan. Setelah selesai acara persandingan, maka tiga hari berikutnya atau dalam istilah bahasa Bulungan, Genop Telu Malom, pihak pengantin pria menyerahkan salah seorang dipon atau hamba sahaya, dapat pula diartikan sebagai pembantu kepada pihak pengantin wanita dalam bahasa Bulungan disebut Buka Seluar. Bila tidak ada bisa diganti dengan uang sebesar 250 ringgit.

Kemudian setelah acara penyerahan dipon atau hamba sahaya tadi barulah kedua pengantin naik keatas pelaminan, sambil dinyanyikan lagu-lagu Sulai Mambeng, Dindeng Sayeng, dan Sayeng Tuan yang dibawakan oleh para orang tua. Tembang ini dinyanyikan hingga menjelang subuh. Tahap Selanjutnya dari prosesi perkawinan adat Bulungan ini adalah membangunkan pengantin, dalam bahasa Bulungannya adalah Metun Pengantin dengan cara membunyikan alat musik tradisional berupa gendang rebana. Setelah pengantin dibangunkan, maka tahap berikutnya adalah mandi pengantin. Dalam bahasa Bulungan mandi disebut Mendus

Pada acara mandi pengantin ini pasangan pengantin didudukandi atas persada atau tangga tujuh tingkat. Sebelum acara mandi-mandian dilaksanakan masing-masing pengantin diangkut, pengantin wanita digendong, dalam bahasa Bulungan disebut Tenanggung. Sedangkan pengantin pria diangkut dengan kursi. Sebelum duduk di tempat pemandian yang sudah disiapkan berupa baki atau talam yang dilapisi kain, pengantin wanitanya dibawa berkeliling mengitari tangga hingga pada tingkat yang paling atas. Barulah acara mandi pengantin dilaksanakan.

Air yang digunakan untuk mandi pengantin berasal dari kawasan Limbu atau Long Baju dengan menggunakan biduk bebandung, serta mereka yang mengambilnya diharuskan menggunakan pakaian pengantin. Air diambil sehari sebelum acara mandi pengantin dilaksanakan yang banyaknya dua kibut atau guci dan diletakan pada tingkat paling atas persada dilengkapi dengan bunga-bungaan.

Rangkaian akhir dari prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini adalah bertamu ke rumah mertua, dalam bahasa Bulungan dinamakan Nyengkiban. Acara ini dilaksanakan pada sore hari setelah acara mandi-mandian atau Mendus. Dalam acara nyengkiban ini kedua pengantin disertai keluarga pengantin wanita, dengan menggunakan kereta kencana diarak menuju rumah keluarga pengantin pria.

Sesampainya di rumah keluarga pengantin pria, dilaksanakan acara sembah sujud oleh kedua pengantin, setelah selesai acara sembah sujud tersebut, maka berakhirlah seluruh rangkaian acara prosesi perkawinan adat Bulungan yang sacral dan sarat nilai-nilai budaya tersebut. Selanjutnya seluruh keluarga saling bersilaturahmi. Sebagai tambahan, pada masa lampau, jika Sultan Bulungan atau keluarga dekat yang melaksanakan hajat perkawinan, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara pesta rakyat sebagai tanda syukur yang oleh masyarakat Bulungan disebut dengan Birau, acara ini dibuka dengan tembakan salvo dari Meriam Sebenua dengan tujuan seluruh isi kampong mengetahui bahwa ada pesta yang dilaksanakan oleh kerabat Sultan.

Jika kita mengkaji prosesi perkawinan adat Kesultanan Bulungan ini, tercermin nilai-nilai yang sarat makna, seperti nilai kejujuran, kesabaran, keberanian, kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisi yang tidak lain bersandar dari perkawinan nilai-nilai adat dan agama yang diresapi oleh masyarakat Bulungan, inilah yang kemudian melahirkan tradisi adat perkawinan Kesultanan Bulungan yang sakral.

 


Referensi

Boeloengan, Zarkasyi Van. 19 Juni 2010. Adat Perkawinan Orang Bulungan. http://muhammadzarkasy-bulungan.blogspot.com/2010/06/adat-perkawinan-orang-bulungan.html?m=1

Narasumber:

Kakek  H. Hamzah Sulaiman

Nenek  Hj. Siti Zainab


Kelompok:

1.      Lisa Nessa Safitri

2.      Mutmainnah Fitria

3.      Rahma Elvira Ariyani